Selasa, 05 Januari 2016

Persfektif Integratif Psikoterapi


Bentuk-bentuk psikoterapi integratif sangat bervariasi tergantung pada versi yang sedang dipertimbangkan, namun semua berbagi satu tujuan dan maksud bersama. Psikoterapi integratif adalah hasil dari perpaduan dari konsep teoritis dan teknik klinis dari dua atau lebih sekolah psikoterapi tradisional (seperti terapi psikoanalisis dan behavior) menjadi satu pendekatan terapi. Diharapkan bahwa terapi sintesis ini akan lebih kuat dan berlaku untuk populasi dan masalah klinis yang lebih luas daripada psikoterapi model individual yang membentuk dasar dari model integrasi.
Sejarah awal upaya integrasi disusun oleh Marvin Goldfried dan Cory Newman pada tahun 1992, dan oleh Jerold Gold pada tahun 1993, diidentifikasi terpencar tapi memiliki kontribusi yang penting sejak 1933, ketika Thomas French berpendapat bahwa konsep dari pembelajaran Pavlov harus diintegrasikan dengan psikoanalisis. Pada tahun 1944, Robert Sears menawarkan sebuah perpaduan dari teori belajar dan psikoanalisis seperti yang dilakukan John Dollard dan Neal Miller pada tahun 1950 yang diterjemahkan dari konsep dan metode psikoanalisis ke dalam bahasa dan kerangka prinsip-prinsip pembelajaran laboratorium.
Proses psikoterapi eksperiensial merupakan sebuah inovasi yang diperkenalkan oleh Leslie Greenberg, Laura Rice, dan Robert Elliot pada tahun 1993, acceptance and commitment therapy (ACT) yang dijelaskan oleh Steven Hayes, Kirk Stroshal, dan Kelly Wilson pada tahun 1999, adalah contoh penting pendekatan integratif yang sangat bergantung pada pendekatan integrasi humanistik dan eksperiensial dengan terapi perilaku kognitif.
Pada tahun 1992 John Norcross dan Cory Newman mengidentifikasi delapan variabel yang mendorong penyebaran psikoterapi integratif setelah puluhan tahun, yaitu:
-          meningkatnya jumlah sekolah psikoterapi,
-          kurang jelasnya dukungan empiris untuk keberhasilan sekolah terapi,
-          kegagalan teori tunggal untuk menjelaskan dan memprediksi patologi, atau 
       perubahan perilaku dan kepribadian,
-          pertumbuhan jumlah dan kepentingan jangka pendek, psikoterapi terfokus,
-          komunikasi yang lebih besar antara klinisi dan sarjana yang menghasilkan 
       kesediaan, kesempatan, dan eksperimentasi,
-          gangguan dalam ruang konsultasi dari realitas dukungan sosial ekonomi yang 
       terbatas oleh pihak ketiga untuk psikoterapi jangka panjang,
-          identifikasi faktor-faktor umum dalam psikoterapi yang terkait dengan hasil,
-          perkembangan organisasi profesi, konferensi, dan jurnal yang didedikasikan 
       untuk diskusi dan studi perspektif integratif.
Ada beberapa macam perspektif utama yang digunakan dalam psikoterapi. Beberapa aspek dari berbagai macam teori dapat terlihat berguna dan menarik, sehingga sulit menentukan pendekatan mana yang terbaik. Kebanyakan klinisi memilih aspek dari berbagai macam model, tidak memperkecilnya dengan hanya menggunakan satu pendekatan saja. Pada kenyataannya, dalam beberapa dekade ini, ada perubahan dramatis dari pendekatan klinis yang dangkal yang bersumber dari satu model teori. Sebagian besar klinisi akan menggunakan pendekatan yang dianggap eklektik atau integral. Terapis melihat kebutuhan klien dari berbagai macam perspektif dan mengembangkan perencanaan treatmen yang dapat memberikan pengaruh terhadap permasalahan yang dihadapi.

Unsur-unsur terapi
Tujuan terapi
-        Membantu klien mengembangkan integritasnya pada level tertinggi, 
      yang ditandai oleh adanya aktualisasi diri dan integritas yang memuaskan.
-        Menyadari klien sepenuhnya mengenai situasi masalahnya.
-        Mengajarkan klien secara sadar dan intensif memiliki latihan pengendalian di 
      atas masalah tingkah laku.

Peran terapis
Peran terapis sangat ditentukan oleh pendekatan yang digunakan dalam proses terapi. Beberapa ahli memberi penekanan bahwa terapis perlu memberi perhatian kepada klien agar dapat menciptakan iklim yang kondusif bagi perubahan yang diinginkan klien. Pada dasarnya seluruh pendekatan berkeinginan membantu terapis mengubah diri klien.

Teknik-teknik terapi
Goldfried dan Norcross berpendapat bahwa dalam perspektif integratif terdapat tiga teknik terapi, yaitu:
-        Eklektikisme (electicsm)
Merupakan pandangan yang berusaha menyelidiki berbagai sistem metode, teori, atau doktrin, yang dimaksudkan untuk memahami dan bagaimana menerapkannya dalam situasi yang tepat. Pendekatan ini berusaha untuk mempelajari teori-teori yang ada dan menerapkannya dalam situasi yang dipandang tepat. Teknik ini dapat pula disebut dengan pendekatan konseling integratif.
-        Integrasi teoritis (theoretical integration)
Melibatkan formulasi pendekatan psikoterapi yang memberikan model yang berbeda-beda dan memberikan dasar yang konsisten dalam pekerjaan klinis seseorang. Misal, klinisi secara konsisten dapat memilih dua dasar teoritis, seperti sistem keluarga dan perilaku kognitif yang kemudian dari kedua dasar teoritis tersebut klinisi mengembangkan model intervensi. Dengan cara tertentu, klinisi mengembangkan modelnya sendiri berdasarkan sintesis konseptual yang memberikan kontribusi terhadap model yang telah dikembangkan sebelumnya. Pada permasalahan independen yang ada saat ini, terapis dengan konsisten dapat mencari cara ketika sistem keluarga dan kognisi yang maladaptif memberikan kontribusi terhadap stres pada klien. Intervensi yang dilakukan berdasarkan pada pendekatan yang membawa kedua model secara bersamaan.
-        Faktor umum (common factor approach)
Pada integrasi, klinisi mengembangkan strategi dengan mempelajari kesamaan inti unsur dari berbagai macam terapi dan memilih komponen yang selama beberapa waktu  memperlihatkan sebagai kontributor yang sangat efektif dalam memberikan hasil yang positif dari psikoterapi. Wampold (dalam Halgin & Whitbourne, 2010) menyimpulkan bahwa faktor umum jika dibandingkan dengan teknik yang spesifik merupakan faktor yang dapat membuat psikoterapi bekerja.
Beberapa klinisi mengombinasikan elemen dari tiga pendekatan integral yang menghasilkan dengan apa yang disebut sebagai mixed model of integration.

Daftar Pustaka
Habib & Hidayati. (2012). Intervensi psikologis pada pendidikan anak dengan keterlambatan bicara. Jurnal Madrasah 5, 1, 86-91. 
Halgin, Richard P., and Susan K, W. (2010). Psikologi abnormal edisi 6 buku 1. Jakarta : Salemba Humanika. 


Terapi Bermain (Play Therapy)

A.    Definisi Play Therapy
Terapi permainan adalah penggunaan media permainan (alat dan cara bermain) dalam pembelajaran pada anak berkebutuhan khusus yang bertujuan untuk mengurangi atau menghilangkan gangguan-gangguan atau penyimpangan-penyimpangan. Seperti gangguan dan penyimpanga pada fisik, mental, sosial, sensorik, dan komunikasi (Indriyani, 2011).
Play therapy adalah sebuah proses terapeutik yang menggunakan permainan sebagai media terapi agar mudah melihat ekspresi alami seorang anak yang tidak bisa diungkapkannya dalam bahasa verbal karena permainan merupakan pintu masuk kedalam dunia anak-anak (Hatiningsih, 2013)

B.     Tujuan Play Therapy
Tujuan terapi bermain adalah mengubah tingkah laku anak yang tidak sesuai menjadi tingkah laku yang diharapkan. Dengan terapi, anak mampu diubah perilakunya melalui cara yang menyenangkan.

C.    Kategori Bermain Secara Umum:
a.        Bermain aktif
Yaitu anak banyak menggunakan energi inisiatif dari anak sendiri.
Contoh : bermain sepak bola.
b.        Bermain pasif
Energi yang dikeluarkan sedikit,anak tidak perlu melakukan aktivitas (hanya melihat)
Contoh : memberikan support.
Ciri-ciri Bermain :
1)      Selalu bermain dengan sesuatu atau benda
2)      Selalu ada timbal balik interaksi
3)      Selalu dinamis
4)      Ada aturan tertentu
5)      Menuntut ruangan tertentu

D.    Klasifikasi bermain menurut isi :
1.      Social affective play
Anak belajar memberi respon terhadap respon yang diberikan oleh lingkungan dalam bentuk permainan,misalnya orang tua berbicara memanjakan anak tertawa senang,dengan bermain anak diharapkan dapat bersosialisasi dengan lingkungan.
2.      Sense of pleasure play
Anak memproleh kesenangan dari satu obyek yang ada disekitarnya,dengan bermain dapat merangsang perabaan alat,misalnya bermain air atau pasir.
3.      Skill play
Memberikan kesempatan bagi anak untuk memperoleh ketrampilan tertentu dan anak akan melakukan secara berulang-ulang misalnya mengendarai sepeda
4.       Dramatika play role play
Anak berfantasi menjalankan peran tertentu misalnya menjadi ayah atau ibu

E.     Klasifikasi Bermain menurut sosial :
1.      Solitary play
Jenis permainan dimana anak bermain sendiri walaupun ada beberapa orang lain yang bermain disekitarnya. Biasa dilakukan oleh anak balita Todler.
2.       Paralel play
Permainan sejenis dilakukan oleh suatu kelompok anak masing-masing mempunyai mainan yang sama tetapi yang satu dengan yang lainnya tidak ada interaksi dan tidak saling tergantung, biasanya dilakukan oleh anak preischool. Contoh : bermain balok
3.      Asosiatif play Permainan dimana anak bermain dalam keluarga dengan aktifitas yangsma tetapi belum terorganisasi dengan baik,belum ada pembagian tugas,anak bermain sesukanya.
4.      Kooperatif play
Anak bermain bersama dengan sejenisnya permainan yang terorganisasi dan terencana dan ada aturan tertentu. Bissanya dilakukanoleh anak usia sekolah Adolesen

F.     Peranan Play Therapy dalam Psikoterapi (Indriyani, 2011)
1.      Terapi bermain sebagai sarana pencegahan pra bencana. Dengan terapi bermain anak-anak dibantu untuk meimajinasikan peristiwa bencana, dan dilatih untuk bisa siap siaga dengan simulasi longsor yang diberikan lewat permainan.
2.      Terapi bermain sebagai sarana penyembuhan. Dalam hal ini terapi permainan dapat mengembalikan fungsi fisik, psiko-terapi, fungsi sosial, melatih komunikasi, khususnya pasca bencana longsor. Karena sudah banyak terbukti terapi bermain adalah terapi yang berhasil menangani kondisi trauma anak-anak setelah bencana. Seperti saat bencana di mentawai dan merapi.
3.      Terapi bermain sebagai sarana penyesuaian diri. Aktivitas permainan yang dilakukan secara berkelompok dapat membantu anak yang berkelainan untuk lebih mudah mengenal lingkungannya.
4.      Terapi bermain sebagai sarana untuk mempertajam pengindraan. Misalnya permainan warna membantu anak yang berkelainan pada mata. Permainan yang menantang kordinasi tangan dan mata, akan membantu anak yang perhatiannya kurang, dll.
5.      Terapi bermain sebagai sarana untuk mengembangkan kepribadian. Khususnya untuk anak dengan perilaku menyimpang. Kepribadian yang kurang matang, menyebabkan anak berperilaku non asertif, arogan dan impulsive, dengan terapi bermain, perilaku tersebut diubah menjadi perilaku yang asertif.

G.    Penerapan play therapy dalam psikoterapi
Play therapy digunakanuntuk diagnosis, kesenangan, aliansi, terapi, ekspresi diri, peningkatan ego, kognitif dan sosialisasi. Dalam hal ini kognitif yang dimaksud adalah menjelaskan tentang keterampilan, seperti konsentrasi, memori, mengantisipasi konsekuensi dari perilaku seseorang, dan pemecahan masalah secara kreatif yang dapat di kembangkan melalui play therapy (Reid dan Schafer dalam Hatiningsih, 2013)

H.    Langkah-langkah Play Therapy (Indriyani, 2011)
1.      Langkah awal
a.       Membangun kepercayaan melalui aktive listening and reading situation (mendengar-kan secara aktif dan membaca keadaan anak) dan unconditional acceptance (penerimaan tanpa syarat), mencoba memberikan bantuan pada anak dan berkomunikasi penuh kesabaran dengan anak. Untuk itu, menurut Kottman (2005) orang yang memberikan terapi harus berusaha masuk secara total dalam dunia anak, sehingga anak betul-betul merasa aman dan menganggapnya sebagai sahabat. Langkah ini bisa dilakukan oleh konselor dengan menyediakan berbagai permainan yang digemari anak.
b.       Mengidentifikasi karakteristik anak berkebutuhan khusus yang akan diberi terapi
c.       Menentukan permainan yang sesuai dengan karakteristik anak dan menyiapkan alat-alat permainan yang akan diberikan.
d.      Menentukan target behavior atau tujuan yang ingin dicapai dalam terapi. Sebaiknya membelajarkan pembelajaran mitigasi bencana secara perlahan, terstruktur dan berkesainambungan. Bagilah target behavior dalam beberapa sesi.
e.       Membuat jadwal dan menentukan tempat terapi bersama-sama dengan anak. Tentunya yang sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik anak.

2.      Langkah pertengahan
a.        Memulai terapi
b.        Memberikan informasi kepada ABK mengenai tujuan dari terapi bermain yang akan diberikan
c.        Mengeksplorasi dan mengobservasi cara anak bermain, sehingga dengan cara ini konselor juga dapat membantu anak untuk mengembangkan kreativitasnya secara luas, seperti kemampuan bahasa, seni, gerak, drama dan dapat mengembangkan kemampuan emosi anak dalam menjalin hubungan dengan alam sekitarnya.

3.      Langkah akhir
Langkah akhir adalah suatu langkah dimana seorang terapis mengakhiri proses terapi yang dia berikan;
a.       Beri kesempatan anak untuk menyimpulkan apa yang dia dapatkan dari permainan yang dilakukan.
b.       Terapi bisa diakhiri jika pada diri anak telah menunjukkan kemajuan dalam berbagai bentuk perilaku positif, khususnya tujuan dari diberikannya terapi bermain ini dan berikan penegasan terhadap apa yang anak kemukan dengan benar tentang tujuan terapi permainan ini.

4.      Kelebihan Metode Bermain
a.       Merangsang perkembangan motorik anak, karena dalam bermain membutuhkan gerakan-gerakan
b.       Merangsang perkembangan berfikir anak, karena dalam bermain membutuhkan pemecahan masalah bagaimana melakukan permainan itu dengan baik dan benar
c.       Melatih kemandirian anak dalam melakukan sesuatu secara mandiri tidak menggantungkan diri pada orang lain.
d.      Melatih kedisiplinan anak, karena dalam permainan ada aturan-aturan yang harus ditaati dan dilaksanakan.
e.       Anak lebih semangat dalam belajar, karena naluri anak usia dini belajar adalah bermain yang didalamnya mengandung pelajaran.

5.      Kekurangan Metode Bermain
a.     Membutuhkan biaya yang lebih, karena dalam metode bermain membutuhkan alat atau media yang harus dipersiapkan terlebih dahulu
b.     Membutuhkan ruang atau tempat yang khusus sesuai dengan tipe permainan yang dilakukan

Daftar Pustaka
Hatiningsih, Nuligar. (2013). Play therapy untuk meningkatkan konsentrasi pada anak attention deficit hyperactive disorder (ADHD). Jurnal ilmiah psikologi terapan 1-2. 324-342 ISSN: 2301-8267.



Indriyani, L. (2011). Play therapy: pembelajaran mitigasi bencana tanah longsor untuk ABK. Bulletin vulkanologi dan bencana geologi. 6-3:7-15.


Terapi Keluarga (Family Therapy)

   A.   Pengertian Terapi Keluarga
     Terapi keluarga merupakan proses bantuan kepada individu dengan melibatkan para anggota keluarga lainnya dalam upaya memecahkan masalah yang dialami. Terapi keluarga dapat dilakukan untuk permasalahan dan ketidaknyamanan yang sumbernya lebih banyak berasal dari keadaan keluarga. Terapi keluarga adalah cara baru untuk mengetahui permasalahan seseorang, memahami perilaku, perkembangan simtom dan cara pemecahannya. Terapi keluarga dapat dilakukan sesama anggota keluarga dan tidak memerlukan orang lain, terapis keluarga mengusahakan supaya keadaan dapat menyesuaikan, terutama pada saat antara yang satu dengan yang lain berbeda

      B. Cara Melakukan Terapi Keluarga
     Proses terapi keluarga meliputi tiga tahapan yaitu fase 1 perjanjian, fase 2 kerja, fase 3 terminasi.
1.       Fase Perjanjian
Perawat dan klien mengembangkan hubungan saling percaya, isu-isu keluarga  diidentifikasi, dan tujuan terapi ditetapkan bersama.
2.       Fase Kerja 
Keluarga dengan dibantu oleh perawat sebagai terapis berusaha mengubah pola interaksi di antara anggota keluarga, meningkatkan kompetensi masing-masing individual anggota keluarga, eksplorasi batasan-batasan dalam keluarga, peraturan-peraturan yang selama ini ada.
3.       Fase Terminasi
Di mana keluarga akan melihat lagi proses yang selama ini dijalani untuk mencapai tujuan terapi, dan cara-cara mengatasi isu yang timbul. Keluarga juga diharapkan dapat mempertahankan perawatan yang berkesinambungan.

      C.  Manfaat Terapi Keluarga
      Manfaat untuk pasien yaitu mempercepat proses kesembuhan melalui dinamika kelompok atau keluarga.  Memperbaiki hubungan interpersonal pasien dengan tiap anggota keluarga atau memperbaiki proses sosialisasi yang dibutuhkan dalam upaya rehabilitasinya.
Manfaat untuk keluarga yaitu memperbaiki fungsi dan struktur keluarga sehingga peran masing – masing anggota keluarga labih baik.

      D. Kasus-Kasus yang Diselesaikan dalam Terapi Keluarga
     Pada terapi keluarga kasus yang diselesaikanantara lain, kenakalan remaja, hubungan perkawinan, hubungan ketidakharmonisan antara anak dan orang tua, prestasi belajar pada anak, masalah antara saudara.

      E. Contoh Kasus yang Menggambarkan terapi Keluarga

      Kasus kehadiran siswa di sekolah yang tidak tepat waktu (datang terlambat) dialami di banyak sekolah. Dampak keterlambatan siswa, selain merugikan diri sendiri, juga merugikan orang lain, misalnya mengganggu konsentrasi guru yang sedang menjelaskan materi pelajaran. Dampak langsung yang dirasakan siswa, mulai dari yang ringan, misalnya kehilangan konsentrasi, ketinggalan materi; sampai dengan yang berat, misalnya tidak diizinkan masuk kelas. Bahkan jika terus berulang sampai frekuensi tertentu, bisa-bisa dikeluarkan dari sekolah. Pola penanganan siswa terlambat yang selama ini diterapkan di sekolah umumnya adalah mulai dari teguran lisan sampai dengan membuat perjanjian dengan wali kelasnya. Namun, metode tersebut tampaknya belum cukup efektif untuk menekan jumlah siswa terlambat. Terbukti, kasus tersebut terus saja terjadi setiap hari. Beberapa siswa bahkan tetap saja datang terlambat meskipun sudah beberapa kali diberikan peringatan.Untuk itu, diperlukan strategi baru untuk menangani permasalahan tersebut, dalam hal ini, pihak sekolah harus melibatkan pihak keluarga.

Daftar Pustaka



Almasitoh. H. U. (2014). Model terapi dalam keluarga. Diakses pada tanggal 3 Januari 2016 dari http://download.portalgaruda.org/article.php?article=253242&val=6820&title=MODEL%20TERAPI%20DALAM%20KELUARGA

Mashudi, F. (2012). Psikologi konseling. Yogyakarta: IRCiSoD

Mindrewati. (2014). Penerapan konseling keluarga dalam menangani permasalahan siswa terlambat. Jurnal sains dan praktik psikologi. Universitas Muhammadiyah Malang. 2-2.

Semium. Y. (2006). Kesehatan mental 3. Yogyakarta. Kanisius


TERAPI KELOMPOK (GROUP THERAPY)

Pada tahun 1910 Jacob Mareno (Psikiater Austria) menggunakan teknik teater untuk mengembangkan interaksi dan spontanitas pasien dengan membawa problemnya pada setting kelompok, psikodrama (terapi kelompok). Harleigh B. Trecker mengatakan bahwa terapi kelompok merupakan suatu metode khusus yang memberikan kesempatan kepada individu-individu  dan kelompok-kelompok untuk tumbuh dalam setting-setting fungsional pekerjaan sosial, rekreasi serta pendidikan. Karena banyaknya pasien yang datang pada terapis, maka terapis menggunakan perawatan dalam kelompok. Faktor dinamik yang berkembang dalam situasi kelompok itu sendiri menampilkan faktor-faktor yang baru yang oleh beberapa terapis menganggap suatu kelebihan terhadap terapi individual.
Terapi kelompok terdiri atas beberapa bentuk, sebagian besar berasal dari jenis-jenis terapi individual :
1.      Kelompok Eksplorasi Interpersonal: Tujuan adalah mengembangkan kesadaran diri tentang gaya hubungan interpersonal melalui umpan balik korektif dari anggota kelompok yang lain. Pasien diterima dan didukung, oleh karena itu dapat meningkatkan harga diri. Tipe ini yang paling umum dilakukan.
2.      Kelompok Bimbingan Inspirasi: Kelompok yang sangat terstruktur kohesif, mendukung, yang meminimalkan pentingnya tilikan, dan memaksimalkan nilai diskusi didalam kelompok dan persahabatan. Kelompoknya mungkin saja besar (missal, Alcoholic Anonymus). Anggota kelompok dipilih seringkali karena mereka “mempunyai problem yang sama”
3.      Terapi Berorientasi Psikoanalitik: Suatu teknik kelompok dengan struktur yang longgar, terapis melakukan interprestasi tentang konflik nirsadar pasien dan memprosesnya dari observasi interaksi antar anggota kelompok.
Sejumlah tipe terapi kelompok yang lain antara lain:
1.      Terapi perilaku
2.      Gestalt
3.      Konfrontasi
4.      Psikodrama (Role Play)
5.      Analisis transaksional
6.      Marathon, dll.

Teknik Terapi Kelompok
Terapi kelompok dapat berlangsung beberapa minggu, beberapa bulan atau beberapa tahun, dan biasanya dilakukan seminggu sekali. Terdiri dari 5-12 anggota (bergantung pada tipenya). Terapis banyak dari disiplin ilmu dapat melakukan terapi kelompok, banyak terapi kelompok dilakukan dengan menyertakan ko-terapis. Beberapa kelompok terdiri dari pasien dengan hanya satu diagnosis (missal, Skizofrenia, Alkoholisme) tetapi ada juga yang campuran. Belum jelas pasien-pasien mana saja yang mendapat manfaat atau memburuk dengan terapi kelompok.

Metode Terapi Kelompok
Dalam praktek, terapi kelompok sangat bervariasi seperti halnya dengan terapi individual. Bentuk-bentuk paling awal terapi kelompok bersifat didaktis dimana pemimpin kelompok berceramah, meyakinkan, dan mengarahkan. Karena adanya perkembangan-perkembangan baru dibidang ini, pemimpin kelompok menjalankan fungsi yang sama untuk kelompok sama seperti yang dilakukan oleh terapis individual untuk pasiennya. Dia mendorong, mengungkapkan, memeriksa motif-motif, memberikan penafsiran-penafsiran, dan sedikit demi sedikit membangkitkan partisipasi masing-masing anggota kelompok dalam fungsi ini.

Kegunaan Terapi Kelompok
Partisipasi dalam pengalaman terapi kelompok akan menghilangian perasaan-perasaan terisolasi dalam diri pasien dan keunikan dari penyakitnya, dan demikian menghilangkan kecemasan-kecemasannya dan mendorongnya untuk membicarakan perasaan-perasaan batinnya dengan sepenuh hati.
Terapi kelompok juga memiliki beberapa keuntungan khusus, yaitu:
1.      Terapi kelompok lebih murah, krena beberapa pasien ditangani pada waktu yang sama.
2.      Format kelompok member peluang kepada pasien untuk mempelajari bagaimana orang lain mengalami masalah-masalah yang serupa menangani kesulitan-kesulitan mereka, dan para anggota lain dalam kelompok dan terapis memberi merekan dukungan social.
3.      Terapi kelompok memungkinkan terapis menggunakan sumber daya terbatas. Format kelompok mungkin meningkatkan jumlah orang-orang yang dapat ditangani oleh seorang terapis, dan dapat mengurangi kewajiban orang untuk menantikan giliran wawancara dengan terapis.
4.      Terapi kelompok dapat memberikan sumber informasi dan pengalaman hidup yang dapat ditimba oleh pasien.
5.      Adanya dukungan kelompok untuk tingkah laku yang tepat. Para pasien mungkin menginginkan terapis memberikan dukungan pada mereka, tetapi dukungan yang diberikan oleh kawan-kawan sekelompok mungkin memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap peningkatan harga diri dan kepercayaan diri.
6.      Belajar bahwa masalah atau kegagalan yang dialami seseorang bukanlah hal-hal yang unik.
7.      Para anggota kelompok yang bertambah baik merupakan sumber pengharapan bagi anggota-anggota lain dalam kelompok.
8.      Adanya peluang-peluang untuk belajar menangani orang secara efektif.

Kekurangan Terapi Kelompok
1.      Tidak semua klien cocok : tertutup, masalah verbal, interaksi
2.      Peran terapis menyebar: menangani banyak orang sekaligus
3.      Sulit menumbuhkan kepercayaan: kurang personal
4.      Klien sangat tergantung dan beharap terlalu banyak pada kelompok
5.      Kelompok tidak dijadikan sarana untuk berlatih
6.      Membutuhkan terapis terlatih

SUMBER:
Tomb, D. A. (2003). Buku saku : psikiatri. Jakarta: EGC
Semiun, Y. (2006). Kesehatan mental 3. Yogyakarta: Kanisius

Trecker, H. B.(2008) Social work administration. University of California: Association Press.