Prof. Viktor E. Frankl adalah seorang profesor dari Fakultas Kedokteran-Universitas Vienna dan juga cukup lama menjadi mahasiswa yang mempelajari filosofi eksistensial.Pada awal 1938 menggunakan istilah ‘Existenz-Analyse’ dalam tulisannya.Beliau memperoleh gelar doktor filosofi, dan juga gelar dokter sebagai neurologis dan psikiater. Kemudian Frankl bekerja sebagai Kepala Poliklinik Neurologik Vienna dan mendapat julukan kehormatan “The Third Viennese School of Psychotherapy”.
Frankl
memperkenalkan logoterapi yang mengakui adanya dimensi spiritual dan
memanfaatkannya untuk mengembangkan hidup bermakna (therapy through meaning).
Dari asal katanya, logoterapi berasal dari kata ‘logos’ yang berarti ‘meaning’
(makna) dan ‘spirituality’ (kerohanian). Logoterapi digolongkan pada
Existential Psychiatry dan Humanistic Psychology
Viktor
Frankl berpendapat bahwa kebutuhan manusia yang lebih mendasar adalah kebutuhan
untuk hidup bermakna atau berarti.Keinginan untuk mempunyai maknai merupakan
salah satu kekuatan motivasi yang ada dalam diri manusia bahkan lebih mendasar
daripada ‘prinsip kesenangan’ (pleasure principle) dari Freud atau ‘keinginan
untuk berkuasa’ dari Adler. Menurut Frankl, seseorang akan menjadi sakit
apabila dia tidak lagi mempertanyakan keberadaannya. Hal ini terjadi karena dia
tidak dapat lagi berfungsi sebagaimana mestinya atau istilah Frankl manusia itu
sedang berada di dalam ‘kekosongan eksistensial’
1. Ajaran
Logoterapi
Logoterapi
berpandangan bahwa ‘makna hidup’ (the meaning of life) dan ‘hasrat untuk hidup
bermakna’ (the will to meaning) merupakan motif azasi manusia yang dapat
dilihat dalam dimensi spiritual atau ‘noetic’. Jadi, Frankl berpendapat bahwa
ada dimensi lain selain dimensi somatik dan psikis, yaitu dimensi spiritual.
Tampaknya Frankl tidak memisahkan antara fisik, psikis dan spiritual seorang
manusia dan menganggapnya merupakan satu kesatuan yang utuh.Konflik dasar
spiritual yang muncul dari dalam diri seseorang dapat terjadi sebagai akibat
ketidakmampuannya untuk muncul secara spiritual mengatasi kondisi fisik dan
psikisnya.
Konflik
ini tidak berakar pada kerumitan psikologis, akan tetapi terpusat pada hal
spiritual dan etis. Apabila terdapat satu konflik spiritual dapat menyebabkan
gangguan psikologis (neurosis) yang disebut Frankl sebagai ‘noogenic neurosis’.
Terapi ini bertujuan untuk memenuhi doroangan spiritual yang dibawa oleh
manusia sejak lahir dengan mengeksplorasi makna keberadaan manusia.
2. Ajaran dalam
Logoterapi mempunyai 3 landasan filsafat, yaitu :
a. The
freedom of will: kebebasan tetapi terbatas, bukan kebebasan dari sesuatu tetapi
kebebasan mengambil sikap terhadap sesuatu. Kebebasan yang dimaksud di sini
adalah kebebasan yang bertanggungjawab.
b. The
will to meaning : merupakan motivasi dasar manusia. Yang dimaksudkan dengan
keinginan untuk bermakna adalah : tertuju kepada hal-hal yang berada di luar
diri manusia tersebut, bukan berpusat pada diri sendiri (self-centered)
c. The
meaning of life : dapat ditemukan oleh manusia dalam kehidupannya, termasuk
pada saat mengalami penderitaan (rasa bersalah, sakit, kematian). Makna hidup
setiap orang sifatnya unik, personal, spesifik, dan temporer. Makna hidup tidak
dapat diberikan oleh siapapun, jadi harus ditemukan oleh diri sendiri.
3. Logoterapi sebagai
Salah Satu Metode Konseling
Dalam logoterapi pasien
dibantu untuk menemukan nilai-nilai baru dan mengembangkan filosofi konstruktif
dalam kehidupannya. Oleh karena itu, seorang logoterapis tidaklah mengobati
gejala-gejala yang tampak pada pasien atau klien secara langsung, akan tetapi
mengadakan perubahan sikap neurotik pasien terlebih dahulu. Pasien
bertanggungjawab pada dirinya sendiri dan logoterapis memberikan dorongan untuk
memilih, mencari dan menemukan sendiri makna konkrit dari eksistensi
pribadinya. Seorang logoterapis membantu klien untuk menyusun 3 macam nilai
yang akan memberi arti pada eksistensi, yaitu : creative values, experiental
values, dan attitudinal values.
Dalam
proses terapi, klien diperlihatkan bagaimana membuat hidup menjadi penuh arti
dengan ‘the experience of love’. Pengalaman ini akan membuatnya mampu menikmati
ketulusan, keindahan dan kebaikan dan mampu mengerti akan manusia dengan
keunikan-keunikan pribadinya. Dengan demikian, diharapkan klien dapat melihat
bahwa penderitaan mungkin sangat berguna untuk membantunya dalam mengubah sikap
hidup.Sebagai contoh, situasi yang tidak dapat diperbaiki yang disebut oleh
Frankl sebagai ‘takdir’ mungkin harus diterima. “Dimana kita tidak lagi dapat
mengubah takdir dengan perbuatan, apapun keadaannya, sikap yang tepat untuk
menghadapi takdir adalah kita harus dapat menerimanya”
4. Tahapan Konseling
Logoterapi
Ada empat tahap utama didalam proses
konseling logterapi diantaranya adalah:
a. Tahap
perkenalan dan pembinaan rapport. Pada tahap ini diawali dengan menciptakan
suasana nyaman untuk konsultasi dengan pembina rapport yang makin lama makin
membuka peluang untuk sebuah encounter. Inti sebuah encounter adalah
penghargaan kepada sesama manusia, ketulusan hati, dan pelayanan. Percakapan
dalam tahap ini tak jarang memberikan efek terapi bagi konseli.
b. Tahap
pengungkapan dan penjajagan masalah. Pada tahap ini konselor mulai membuka
dialog mengenai masalah yang dihadapi konseli. Berbeda dengan konseling lain
yang cenderung membeiarkan konseli “sepuasnya” mengungkapkan masalahnya, dalam
logoterapi konseli sejak awal diarahkan untuk menghadapi masalah itu sebagai
kenyataan.
c. Pada
tahap pembahasan bersama, konselor dan konseli bersama-sama membahas dan
menyamakan persepsi atas masalah yang dihadapi. Tujuannya untuk menemukan arti
hidup sekalipun dalam penderitaan.
d. Tahap
evaluasi dan penyimpulan mencoba memberi interpretasi atas informasi yang
diperoleh sebagai bahan untuk tahap selanjutnya, yaitu perubahan sikap dan
perilaku konseli. Pada tahap-tahap ini tercakup modifikasi sikap, orientasi
terhadap makna hidup, penemuan dan pemenuhan makna, dan pengurangan
symptom.
Jadi,
tujuan dari logoterapi adalah membangkitkan “kemauan untuk bermakna” dalam
individu tersebut, yang bersifat khusus dan pribadi bagi masing-masing
orang.Seseorang dapat bertahan dalam kondisi-kondisi yang paling tidak
menguntungkan hanya bila tujuan ini terpenuhi. Namun sebelumnya, seorang
konselor sebaiknya mampu mengeksplorasi dinamika proses intrapsikis dan
menyelidiki hubungan interpersonal klien melalui psikoterapi tradisional dengan
teknik psikoanalitik. Oleh karena itu, tampaknya Frankl, tidak sama sekali
meninggalkan teori Freud dalam psikoanalitiknya, tetapi keberhasilan logoterapi
sangat dipengaruhi oleh keberhasilan terapis dalam mengeksplorasi konflik
intrapsikis dari klien.
Dengan
logoterapi, klien yang menghadapi kesukaran menakutkan atau berada dalam
kondisi yang tidak memungkinkannya beraktivitas dan berkreativitas dibantu
untuk menemukan makna hidupnya dengan cara bagaimana ia menghadapi kondisi
tersebut dan bagaimana ia mengatasi penderitaannya. Dengan cara ini, klien
dibantu untuk menggunakan kejengkelan dan penderitaannya sehari-hari sebagai
alat untuk menemukan tujuan hidupnya. Peradaban kita saat ini meyakinkan banyak
orang untuk melihat penderitaan sebagai satu ‘takdir’ yang tidak dapat dicegah
dan dielakkan.Akan tetapi logoterapi mengajarkan kepada klien untuk melihat
nilai positif dari penderitaan dan memberikan kesempatan untuk merasa bangga
terhadap penderitaannya.
5. Teknik Logoterapi
1. Persuasif
Salah satu teknik yang
digunakan dalam logoterapi adalah teknik persuasif, yaitu membantu klien untuk
mengambil sikap yang lebih konstruktif dalam menghadapi kesulitannya.Frankl,
menggambarkan hal ini dalam satu kasus tentang seorang perawat yang menderita
tumor yang tidak dapat dioperasi dan mengalami keputusasaan karena
ketidakmampuannya untuk bekerja dalam profesinya yang sangat terhormat.
2. Paradoxical-intention
Paradoxical intention
pada dasarnya memanfaatkan kemampuan mengambil jarak (self-detachment) dan
kemampuan mengambil sikap terhadap kondisi diri sendiri dan
lingkungan.Paradoxical intention terutama cocok untuk pengobatan jangka pendek
pasien fobia (ketakutan irrasional). Dengan teknik ini, konselor mengupayakan
agar klien yang mengalami fobia mengubah sikap dari ‘takut’ menjadi ‘akrab’
dengan objek fobianya. Selain itu, teknik paradoxical intention sangat
bermanfaat untuk menolong klien dengan obsesif kompulsif (tindakan yang
terus-menerus dilakukan walaupun sadar hal itu tidak rasional).Antisipasi yang
menakutkan terhadap suatu kejadian sering menyebabkan reaksi-reaksi yang
berkembang dari peristiwa tersebut, misalnya pasien dengan obsesi yang kuat
cenderung untuk menghindari obsesif-kompulsifnya. Dengan teknik paradoxical
intention, mereka diajak untuk ‘berhenti melawan’, tetapi bahkan mencoba untuk
‘bercanda’ tentang gejala yang ada pada mereka, ternyata hasilnya adalah gejala
tersebut akan berkurang dan menghilang. Klien diminta untuk berpikir atau
membayangkan hal-hal yang tidak menyenangkan, menakutkan, atau memalukan
baginya. Dengan cara ini klein mengembangkan kemampuan untuk melawan
ketakutannya, seperti yang terdapat juga dalam terapi perilaku (behaviour
therapy).
3. De-reflection
Teknik
logoterapi lain adalah “de-reflection”, yaitu memanfaatkan kemampuan
transendensi diri (self-transcendence) yang dimiliki setiap manusia dewasa.
Setiap manusia dewasa memiliki kemampuan untuk membebaskan diri dan tidak lagi
memperhatikan kondisi yang tidak nyaman, tetapi mampu mengalihkan dan
mencurahkan perhatiannya kepada hal-hal yang positif dan bermanfaat.Di sini
klien pertama-tama dibantu untuk menyadari kemampuan atau potensinya yang tidak
digunakan atau terlupakan.Ini merupakan suatu jenis daya penarik terhadap
nilai-nilai pasien yang terpendam. Sekali kemampuan tersebut dapat diungkapkan
dalam proses konseling maka akan muncul suatu perasaan unik, berguna dan
berharga dari dalam diri klien. De-reflection tampaknya sangat bermanfaat dalam
konseling bagi klien dengan pre-okupasi somatik, gangguan tidur, dan
beberapa gangguan seksual, seperti impotensi dan frigiditas
CONTOH KASUS
1. Contoh
Kasus penerapan teknik Bimbingan Rohani
Harold
seorang warga Australia berusia paruh baya yang kehidupannya dengan cepat
berubah carut-marut diluar kontrol seperti seorang pemabuk. Masalah
keuangan/ekonomi tidak didukung oleh sejumlah biaya yang dihabiskan untuk minum
dan pengaruh beban pekerjaan (stress). Simpati istrinya berkurang disamping ia
juga punya masalah tidur tengah malam. Dia pulang untuk menemui Chris Wurm,
seorang GP ahli Logotherapi. Wurm mengkombinasikan pendekatan medis sebagai
contoh pemberian informasi terhadap bahaya minuman-minuman juga dilakukan
dengan logotherapi. Roda kehidupan Harol kembali bergulir, liku-liku sisi
alkohol dari kehidupannya dan tak bisa dihindari. Werm berkata “ bahwa
memungkin untuk memikirkan apayang dia ketahui dan dapat menentukan pilihan dan
menjalani kehidupan dengan berbagai cara (penekanan logotherapi dapat
dipertanggung jawabkan). Cerminan dari suatu pilihan yang membawa perubahan
baginya (ini adalah orientasi terhadap makna penghayatan dan nilai - nilai
terakhir yang bisa ditemuinya, nilai – nilai bersikap), dan terdapat gambaran
masa masa mendatang. Perannya sangat menentukan dan menjadi efektif, setiap
kali ia memandang betapa akal piciknya menjadi bumerang (api dalam sekam).
2. Contoh
kasus penerapan teknik Intensi Paradoksial
a. Kasus
hidrofobia yang dialami seorang klien selama 4 tahun, dimana ia selalu merasa
gemetar dan keluar keringat tiap kali berjabat tangan dengan atasannya. Frankl
mengajukan saran kepada kliennya supaya jika ia bertemu kembali dengan
atasannya berusaha secara sengaja mengatakan pada dirinya bahwa ia akan
mengeluarkan keringat sebanyak-banyaknya jika bersalaman dengan atasannya
yang sebelumnya hanya sedikit. Dan hasilnya ternyata klien tidak berkeringat
sedikitpun saat bersalaman dengan atasannya.
b. Kasus
bakterofobia dan kompulsi mencuci yang dialami ibu rumah tangga ditangani
Frankl dengan mengajak ibu tersebut menirukan apa yang dilakukannya dengan
menggosok-gosokkan tangan ke lantai dan kemudian berkata, ‘’Lihat, tangan saya
menjadi kotor, tetapi saya tidak bisa menemukan banyak bakteri !’’ dan kemudian
ibu tersebut mau menirukannya dan selama 5 hari berikutnya gejala-gejala
bakterfobia mulai menyusut dan akhirnya hilang sama sekali.
c. Kasus
alkoholisme neurosis yang dialami D.F yang mana dengan minum secara eksesif
untuk mengatasi ketidakbermaknaan hidup sekaligus untuk mengatasi gejala
gemetaran tangan jika berada di depan orang lain. Dan tidak bisa mengangkat
piring atau gelas tanpa menumpahkan isinya jika makan atau minum di depan umum.
Gerz menganjurkan D.F agar secara sengaja berhumor menunjukkan gejala-gejala
itu di hadapan orang lain dengan mengatakan ‘’ Lihat, betapa
ajaib getaran tanganku.’’ Dan ternyata dia tidak bisa menggetarkan tangannya
ketika berhadapan dengan orang lain.
Dari
contoh kasus diatas, dapat disimpulkan bahwa dengan intensi paradoksial
individu didorong untuk melakukan sesuatu yang paradoks yakni mendekati sesuatu
yang justru ditakutinya dan yang selalu ingin dihindarinya.
3. Contoh
kasus penerapan teknik De- reflection
Contoh kasus berikutnya dikutip dari hasil
penelitian oleh Suprapto (2013) yang berjudul “konseling logoterapi untuk
meningkatkan kebermaknaan hidup lansia”
Menjadi tua
adalah suatu hal yang tidak dapat dihindari. Saat memasuki periode lansia,
menjadi seseorang yang lebih berarti dalam hidup tampaknya sangat penting.
Lansia akan menghadapi berbagai persoalan yang terkait dengan beberapa
perubahan yang dialami lansia, yaitu perubahan dalam aspek fisik, kognitif, dan
psikososial. Hal tersebut akan menimbulkan berbagai dampak bagi lansia, salah
satunya ialah perasaan tidak bermakna dalam hidup yang dapat menyebabkan
terjadinya gejala fisik. Subjek ialah lansia yang mengalami ketidakbermaknaan
hidup dan berdampak pada gejala fisik.
Berdasarkan hasil
analisis dari kasus diatas menunjukkan bahwa konseling logoterapi dapat
meningkatkan kebermaknaan hidup pada lansia. Konseling logoterapi diberikan
pada subjek karena konseling ini merupakan konseling yang diberikan pada
individu yang mengalami ketidakjelasan makna dan tujuan hidup. Hal tersebut
menyebabkan subjek mengalami kehampaan dan kehilangan gairah hidup. Konseling
logoterapi juga diberikan pada subjek karena konseling ini tidak diterapkan
untuk kasus patologis berat yang membutuhkan psikoterapi. Selain itu, konseling
logoterapi memiliki karakteristik jangka pendek, berorientasi masa depan dan
berorientasi pada makna hidup (Bastaman, 2007).
Dalam
pendekatan humanistik eksistensial, subjek mengalami neurosis noogenik yaitu gangguan
yang disebabkan tidak terpenuhinya keinginan subjek untuk hidup bermakna,
gangguan tersebut berupa beberapa keluhan fisik yang dialami subjek. Penanganan
yang diberikan pada subjek ialah konseling logoterapi dengan menggunakan metode dereflection. Metode
ini memanfaatkan kemampuan transendensi diri yang terdapat pada setiap individu
dewasa seperti subjek dimana subjek diarahkan untuk tidak memperhatikan kondisi
yang menimbulkan ketidaknyamanan (Bastaman, 2007). Melalui metode tersebut
subjek lebih memperhatikan hal-hal yang positif dan bermanfaat dan mengalami
perubahan sikap, yaitu dari sikap yang terlalu memperhatikan diri menjadi sikap
yang memiliki komitmen terhadap suatu yang penting bagi subjek. Dalam kasus
ini, hal yang penting bagi subjek ialah menentukan tujuan hidup dan menemukan
makna hidupnya kembali. Metode dereflection lebih adaptif
untuk dilakukan, dimana subjek lebih mudah menerima kondisi dirinya, karena
metode tersebut tidak membutuhkan banyak hal yang berkaitan dengan kontrol
terhadap pribadinya sebagai seorang lansia. Melalui metode dereflection, subjek
dapat melihat hal yang berarti dalam kehidupan mereka dan dapat mengatasi
kehampaan eksistensial yang dialaminya. Konseling logoterapi membantu subjek
untuk menemukan sendiri makna hidupnya, menyadari bahwa mereka memiliki
kebebasan dalam menentukan pilihan hidup dan bertanggung jawab terhadap pilihan
hidup tersebut (Sugioka, 2011).
Hasil dari konseling
logoterapi ini didukung oleh kemauan dan motivasi subjek untuk meningkatkan
kebermaknaan hidupnya serta dukungan dari anggota keluarga subjek. Istri subjek
menyatakan bahwa terdapat perubahan subjek ke arah yang lebih baik berkaitan
dengan sikapnya terhadap istri dan anak-anak subjek. Istri subjek tidak lagi
menemui kebiasaan subjek untuk memeriksakan kondisi fisiknya secara berlebihan
ke puskesmas.
Istri subjek
juga menyatakan bahwa subjek kini lebih dapat mengendalikan emosi daripada
sebelumnya. Selain dari proses konseling logoterapi, peningkatan kondisi subjek
tersebut dipengaruhi oleh pihak lain, yaitu penjelasan dari saudara subjek yang
berprofesi dokter yang dapat meyakinkan subjek bahwa gejala fisik yang
dikeluhkannya bukan merupakan gejala dari penyakit kronis tertentu. Serta
percakapan yang sering dilakukan subjek dengan temannya dimana subjek diajarkan
untuk mengubah sikapnya dalam menjalani hidup dan dalam menyikapi orang lain.
Subjek menyadari bahwa masukan dari dua pihak tersebut serta proses konseling
yang telah dilakukan memiliki manfaat yang besar terhadap dirinya untuk menjadi
lebih baik di waktu yang akan datang.
Selanjutnya berdasarkan
Kuesioner Kebermaknaan Hidup yang diisi oleh subjek, terdapat perbedaan yang
signifikan pada beberapa poin di awal konseling dengan di akhir konseling. Hal
tersebut menunjukkan bahwa subjek belum menemukan tujuan hidupnya sebelum
diberikan konseling dan telah mampu menentukan tujuan hidupnya secara jelas
setelah diberikan konseling, yaitu dapat membahagiakan keluarga, dapat
bermanfaat bagi orang lain, serta lebih dekat dengan Tuhan. Pada poin lain juga
terdapat perbedaan yang signifikan, dimana hasil pengisian kuesioner
menunjukkan bahwa pada awal konseling subjek belum menemukan makna hidupnya dan
pada akhir konseling subjek telah menemukan makna hidupnya. Sedangkan hasil
pengisian kuesioner secara keseluruhan, kondisi subjek menunjukkan adanya
perubahan pada awal dan akhir konseling. Subjek telah mampu menentukan tujuan
hidupnya secara jelas dan telah menemukan makna hidupnya kembali.
Selama proses konseling logoterapi, peneliti dan subjek memiliki hubungan
yang akrab, terbuka, saling menghargai, memahami dan menerima, sehingga proses
konseling dapat dilakukan secara fleksibel. Konseling bersifat direktif dimana
peneliti memberikan pengarahan pada subjek mengenai hal-hal yang dapat
dilakukan subjek sebagai proses untuk menemukan makna hidupnya. Peneliti
berperan sebagai participating partneryang menarik keterlibatan
dengan subjek sedikit demi sedikit setelah subjek mulai menyadari dan menemukan
makna hidupnya (Bastaman, 2007).
Keterbatasan
dalam penelitian ini ialah faktor eksternal yang tidak dapat dikontrol oleh
peneliti, yang kemungkinan dapat mempengaruhi hasil konseling. Faktor eksternal
tersebut ialah pengaruh dari keluarga, saudara, serta sahabat subjek. Keluarga,
terutama istri subjek, memberikan dukungan setiap saat agar subjek dapat
menerima kondisi fisiknya dan menjalani hidup dengan lebih tenang. Selama
proses konseling, keluarga mendukung subjek untuk melakukan hal-hal yang
positif dan bermanfaat sehingga kebermaknaan hidup subjek meningkat. Saudara
subjek yang berprofesi dokter juga memberikan pengaruh terhadap hasil
konseling. Saudara subjek tersebut melakukan pemeriksaan terhadap kondisi fisik
subjek dan tidak menemukan kemungkinan yang mengarah pada penyakit kronis
tertentu. Saudara subjek menjelaskan bahwa gejala fisik yang dialami subjek
akibat kondisi fisik subjek yang mengalami penurunan karena memasuki masa
lansia, dan meyakinkan bahwa subjek tidak perlu mengkhawatirkan gejala-gejala
tersebut. Selanjutnya sahabat subjek yang sering melakukan percakapan dengan
subjek juga memberikan dukungan pada subjek. Ia meyakinkan bahwa subjek dapat
memiliki kehidupan yang lebih tenang dengan menerima kondisi fisiknya yang
menurun. Sahabat subjek yang mengalami kelumpuhan tersebut menyampaikan bahwa
ia dapat menjalani hidupnya dengan melakukan hal-hal yang bermanfaat, sehingga
ia berharap subjek dengan kondisi fisik yang lebih baik juga dapat melakukan
hal-hal yang bermanfaat.
Diharapkan setelah
konseling dihentikan, subjek dapat mempertahankan atau meningkatkan
kebermaknaan hidupnya sehingga menjadi pribadi yang lebih terbuka dan
menyenangkan, bersedia melakukan pengalaman baru (Reker & Woo, 2011),
selalu memiliki harapan menjadi lebih baik dan bersedia untuk memperbaiki diri,
berguna dan bermanfaat bagi lingkungan sekitar (Bastaman, 2007). Selain itu,
sebagai proses meningkatkan kebermaknaan hidupnya, subjek diharapkan dapat
mempertahankan ketertarikan, aktivitas, dan interaksi sosial selama periode
lansia (Feldman, 2003) serta mampu menemukan makna yang positif dari kehidupan
dan kematian, bahkan dalam kondisi fisik yang tidak baik, seperti penurunan
fungsi tubuh (Wong, 2007).
Kondisi Subjek Sebelum dan Setelah Konseling
Sebelum konseling
1. Subjek sering mencari pelayanan medis karena merasakan berbagai
keluhan fisik: sakit kepala (pusing), punggung kaku, nyeri di persendian tangan
& kaki, dada sesak, perut kembung, lambung perih, lemah pada bagian kaki,
suara serak
2.
Subjek tidak dapat menerima kenyataan bahwa keadaan keluarga
tidak tercukupi secara finansial karena subjek tidak mampu memberikan nafkah
bagi keluarganya
3. Subjek menjadi mudah marah dan merasa tidak dihormati sebagai
kepala keluarga karena istri dan anak-anaknya sering tidak menuruti perkataan subjek
4.
Permasalahan yang dihadapi subjek membuatnya merasa tidak
berharga, merasa tujuan hidupnya tidak terpenuhi dan merasa hidupnya tidak
bermakna
Pemberian intervensi
Konseling logoterapi diberikan dalam 4
langkah, yaitu:
1.
Mengambil jarak atas gejala (distance from symptoms) dimana
konselor membantu menyadarkan subjek bahwa gejala sama sekali tidak identik dan
mewakili diri subjek, namun semata-mata merupakan kondisi yang dialami dan
dapat dikendalikan
2. Modifikasi sikap (modification of attitude) dimana
konselor membantu subjek untuk mendapatkan pandangan baru atas diri dan
kondisinya, selanjutnya subjek menentukan sikap baru untuk menentukan arah dan
tujuan hidupnya
3.
Pengurangan gejala (reducing symptoms) dimana konselor
menggunakan teknik logoterapi
berupa dereflection untuk menghilangkan atau mengurangi dan mengendalikan gejala pada subjek
berupa dereflection untuk menghilangkan atau mengurangi dan mengendalikan gejala pada subjek
4. Orientasi terhadap makna (orientation toward meaning) dimana
konselor bersama subjek membahas bersama nilai-nilai dan makna hidup yang
secara potensial ada dalam kehidupan subjek, memperdalam dan menjabarkannya
menjadi tujuan- tujuan yang lebih konkrit.
Setelah konseling
1. Keluhan yang dirasakan
subjek telah berkurang dan mampu diabaikan oleh subjek sehingga tidak memenuhi
kriteria diagnosa untuk gangguan psikologis
2. Subjek telah mampu
menerima kondisi bahwa ia tidak mampu memberikan nafkah bagi keluarganya dan
lebih memperhatikan hal-hal yang dapat dilakukannya untuk membahagiakan
keluarganya
3. Subjek dapat
mempertahankan pengendalian emosi yang telah berhasil dilakukannya agar dapat
terus dilakukan dalam kehidupan sehari-hari
4. Pernyataan dari
anggota keluarga bahwa terdapat perubahan subjek ke arah yang lebih baik
berkaitan dengan sikapnya terhadap anggota keluarga
5. Subjek telah memiliki
tujuan hidup, yaitu membahagiakan dan mensejahterakan keluarga meski tidak
berupa materi, dapat bermanfaat bagi orang lain, dan lebih dekat dengan
Tuhan
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Z. (2007). Analisis eksistensial. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
Hasanah, H, U., & Suprapto.(2013). Konseling
logo terapi untuk meningkatkan kebermaknaan hidup
lansia. Jurnal Psikologi. 1 (2), 190-198. UMM.
Schultz, D. (1991).
Psikologi pertumbuhan: model-model
kepribadian sehat. Yogyakarta: Kanisius.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar