Selasa, 05 Januari 2016

LOGOTERAPI


Prof. Viktor E. Frankl adalah seorang profesor dari Fakultas Kedokteran-Universitas Vienna dan juga cukup lama menjadi mahasiswa yang mempelajari filosofi eksistensial.Pada awal 1938 menggunakan istilah ‘Existenz-Analyse’ dalam tulisannya.Beliau memperoleh gelar doktor filosofi, dan juga gelar dokter sebagai neurologis dan psikiater. Kemudian Frankl bekerja sebagai Kepala Poliklinik Neurologik Vienna dan mendapat julukan kehormatan “The Third Viennese School of Psychotherapy”.
 Frankl memperkenalkan logoterapi yang mengakui adanya dimensi spiritual dan memanfaatkannya untuk mengembangkan hidup bermakna (therapy through meaning). Dari asal katanya, logoterapi berasal dari kata ‘logos’ yang berarti ‘meaning’ (makna) dan ‘spirituality’ (kerohanian). Logoterapi digolongkan pada Existential Psychiatry dan Humanistic Psychology
            Viktor Frankl berpendapat bahwa kebutuhan manusia yang lebih mendasar adalah kebutuhan untuk hidup bermakna atau berarti.Keinginan untuk mempunyai maknai merupakan salah satu kekuatan motivasi yang ada dalam diri manusia bahkan lebih mendasar daripada ‘prinsip kesenangan’ (pleasure principle) dari Freud atau ‘keinginan untuk berkuasa’ dari Adler. Menurut Frankl, seseorang akan menjadi sakit apabila dia tidak lagi mempertanyakan keberadaannya. Hal ini terjadi karena dia tidak dapat lagi berfungsi sebagaimana mestinya atau istilah Frankl manusia itu sedang berada di dalam ‘kekosongan eksistensial’

1. Ajaran Logoterapi

Logoterapi berpandangan bahwa ‘makna hidup’ (the meaning of life) dan ‘hasrat untuk hidup bermakna’ (the will to meaning) merupakan motif azasi manusia yang dapat dilihat dalam dimensi spiritual atau ‘noetic’. Jadi, Frankl berpendapat bahwa ada dimensi lain selain dimensi somatik dan psikis, yaitu dimensi spiritual. Tampaknya Frankl tidak memisahkan antara fisik, psikis dan spiritual seorang manusia dan menganggapnya merupakan satu kesatuan yang utuh.Konflik dasar spiritual yang muncul dari dalam diri seseorang dapat terjadi sebagai akibat ketidakmampuannya untuk muncul secara spiritual mengatasi kondisi fisik dan psikisnya.
Konflik ini tidak berakar pada kerumitan psikologis, akan tetapi terpusat pada hal spiritual dan etis. Apabila terdapat satu konflik spiritual dapat menyebabkan gangguan psikologis (neurosis) yang disebut Frankl sebagai ‘noogenic neurosis’. Terapi ini bertujuan untuk memenuhi doroangan spiritual yang dibawa oleh manusia sejak lahir dengan mengeksplorasi makna keberadaan manusia.

2. Ajaran dalam Logoterapi mempunyai 3 landasan filsafat, yaitu :
a.       The freedom of will: kebebasan tetapi terbatas, bukan kebebasan dari sesuatu tetapi kebebasan mengambil sikap terhadap sesuatu. Kebebasan yang dimaksud di sini adalah kebebasan yang bertanggungjawab.
b.      The will to meaning : merupakan motivasi dasar manusia. Yang dimaksudkan dengan keinginan untuk bermakna adalah : tertuju kepada hal-hal yang berada di luar diri manusia tersebut, bukan berpusat pada diri sendiri (self-centered)
c.       The meaning of life : dapat ditemukan oleh manusia dalam kehidupannya, termasuk pada saat mengalami penderitaan (rasa bersalah, sakit, kematian). Makna hidup setiap orang sifatnya unik, personal, spesifik, dan temporer. Makna hidup tidak dapat diberikan oleh siapapun, jadi harus ditemukan oleh diri sendiri.

3. Logoterapi sebagai Salah Satu Metode Konseling
Dalam logoterapi pasien dibantu untuk menemukan nilai-nilai baru dan mengembangkan filosofi konstruktif dalam kehidupannya. Oleh karena itu, seorang logoterapis tidaklah mengobati gejala-gejala yang tampak pada pasien atau klien secara langsung, akan tetapi mengadakan perubahan sikap neurotik pasien terlebih dahulu. Pasien bertanggungjawab pada dirinya sendiri dan logoterapis memberikan dorongan untuk memilih, mencari dan menemukan sendiri makna konkrit dari eksistensi pribadinya. Seorang logoterapis membantu klien untuk menyusun 3 macam nilai yang akan memberi arti pada eksistensi, yaitu : creative values, experiental values, dan attitudinal values.
Dalam proses terapi, klien diperlihatkan bagaimana membuat hidup menjadi penuh arti dengan ‘the experience of love’. Pengalaman ini akan membuatnya mampu menikmati ketulusan, keindahan dan kebaikan dan mampu mengerti akan manusia dengan keunikan-keunikan pribadinya. Dengan demikian, diharapkan klien dapat melihat bahwa penderitaan mungkin sangat berguna untuk membantunya dalam mengubah sikap hidup.Sebagai contoh, situasi yang tidak dapat diperbaiki yang disebut oleh Frankl sebagai ‘takdir’ mungkin harus diterima. “Dimana kita tidak lagi dapat mengubah takdir dengan perbuatan, apapun keadaannya, sikap yang tepat untuk menghadapi takdir adalah kita harus dapat menerimanya”

4. Tahapan Konseling Logoterapi
Ada empat tahap utama didalam proses konseling logterapi diantaranya adalah:
a.       Tahap perkenalan dan pembinaan rapport. Pada tahap ini diawali dengan menciptakan suasana nyaman untuk konsultasi dengan pembina rapport yang makin lama makin membuka peluang untuk sebuah encounter. Inti sebuah encounter adalah penghargaan kepada sesama manusia, ketulusan hati, dan pelayanan. Percakapan dalam tahap ini tak jarang memberikan efek terapi bagi konseli.
b.      Tahap pengungkapan dan penjajagan masalah. Pada tahap ini konselor mulai membuka dialog mengenai masalah yang dihadapi konseli. Berbeda dengan konseling lain yang cenderung membeiarkan konseli “sepuasnya” mengungkapkan masalahnya, dalam logoterapi konseli sejak awal diarahkan untuk menghadapi masalah itu sebagai kenyataan.
c.       Pada tahap pembahasan bersama, konselor dan konseli bersama-sama membahas dan menyamakan persepsi atas masalah yang dihadapi. Tujuannya untuk menemukan arti hidup sekalipun dalam penderitaan.
d.      Tahap evaluasi dan penyimpulan mencoba memberi interpretasi atas informasi yang diperoleh sebagai bahan untuk tahap selanjutnya, yaitu perubahan sikap dan perilaku konseli. Pada tahap-tahap ini tercakup modifikasi sikap, orientasi terhadap makna hidup, penemuan dan pemenuhan makna, dan pengurangan symptom. 
 Jadi, tujuan dari logoterapi adalah membangkitkan “kemauan untuk bermakna” dalam individu tersebut, yang bersifat khusus dan pribadi bagi masing-masing orang.Seseorang dapat bertahan dalam kondisi-kondisi yang paling tidak menguntungkan hanya bila tujuan ini terpenuhi. Namun sebelumnya, seorang konselor sebaiknya mampu mengeksplorasi dinamika proses intrapsikis dan menyelidiki hubungan interpersonal klien melalui psikoterapi tradisional dengan teknik psikoanalitik. Oleh karena itu, tampaknya Frankl, tidak sama sekali meninggalkan teori Freud dalam psikoanalitiknya, tetapi keberhasilan logoterapi sangat dipengaruhi oleh keberhasilan terapis dalam mengeksplorasi konflik intrapsikis dari klien.
Dengan logoterapi, klien yang menghadapi kesukaran menakutkan atau berada dalam kondisi yang tidak memungkinkannya beraktivitas dan berkreativitas dibantu untuk menemukan makna hidupnya dengan cara bagaimana ia menghadapi kondisi tersebut dan bagaimana ia mengatasi penderitaannya. Dengan cara ini, klien dibantu untuk menggunakan kejengkelan dan penderitaannya sehari-hari sebagai alat untuk menemukan tujuan hidupnya. Peradaban kita saat ini meyakinkan banyak orang untuk melihat penderitaan sebagai satu ‘takdir’ yang tidak dapat dicegah dan dielakkan.Akan tetapi logoterapi mengajarkan kepada klien untuk melihat nilai positif dari penderitaan dan memberikan kesempatan untuk merasa bangga terhadap penderitaannya.

5. Teknik Logoterapi

1.     Persuasif
Salah satu teknik yang digunakan dalam logoterapi adalah teknik persuasif, yaitu membantu klien untuk mengambil sikap yang lebih konstruktif dalam menghadapi kesulitannya.Frankl, menggambarkan hal ini dalam satu kasus tentang seorang perawat yang menderita tumor yang tidak dapat dioperasi dan mengalami keputusasaan karena ketidakmampuannya untuk bekerja dalam profesinya yang sangat terhormat.
2.     Paradoxical-intention
Paradoxical intention pada dasarnya memanfaatkan kemampuan mengambil jarak (self-detachment) dan kemampuan mengambil sikap terhadap kondisi diri sendiri dan lingkungan.Paradoxical intention terutama cocok untuk pengobatan jangka pendek pasien fobia (ketakutan irrasional). Dengan teknik ini, konselor mengupayakan agar klien yang mengalami fobia mengubah sikap dari ‘takut’ menjadi ‘akrab’ dengan objek fobianya. Selain itu, teknik paradoxical intention sangat bermanfaat untuk menolong klien dengan obsesif kompulsif (tindakan yang terus-menerus dilakukan walaupun sadar hal itu tidak rasional).Antisipasi yang menakutkan terhadap suatu kejadian sering menyebabkan reaksi-reaksi yang berkembang dari peristiwa tersebut, misalnya pasien dengan obsesi yang kuat cenderung untuk menghindari obsesif-kompulsifnya. Dengan teknik paradoxical intention, mereka diajak untuk ‘berhenti melawan’, tetapi bahkan mencoba untuk ‘bercanda’ tentang gejala yang ada pada mereka, ternyata hasilnya adalah gejala tersebut akan berkurang dan menghilang. Klien diminta untuk berpikir atau membayangkan hal-hal yang tidak menyenangkan, menakutkan, atau memalukan baginya. Dengan cara ini klein mengembangkan kemampuan untuk melawan ketakutannya, seperti yang terdapat juga dalam terapi perilaku (behaviour therapy).
3.     De-reflection
Teknik logoterapi lain adalah “de-reflection”, yaitu memanfaatkan kemampuan transendensi diri (self-transcendence) yang dimiliki setiap manusia dewasa. Setiap manusia dewasa memiliki kemampuan untuk membebaskan diri dan tidak lagi memperhatikan kondisi yang tidak nyaman, tetapi mampu mengalihkan dan mencurahkan perhatiannya kepada hal-hal yang positif dan bermanfaat.Di sini klien pertama-tama dibantu untuk menyadari kemampuan atau potensinya yang tidak digunakan atau terlupakan.Ini merupakan suatu jenis daya penarik terhadap nilai-nilai pasien yang terpendam. Sekali kemampuan tersebut dapat diungkapkan dalam proses konseling maka akan muncul suatu perasaan unik, berguna dan berharga dari dalam diri klien. De-reflection tampaknya sangat bermanfaat dalam konseling bagi klien dengan  pre-okupasi somatik, gangguan tidur, dan beberapa gangguan seksual, seperti impotensi dan frigiditas

CONTOH KASUS

1.   Contoh Kasus penerapan teknik Bimbingan Rohani
Harold seorang warga Australia berusia paruh baya yang kehidupannya dengan cepat berubah carut-marut diluar kontrol seperti seorang pemabuk. Masalah keuangan/ekonomi tidak didukung oleh sejumlah biaya yang dihabiskan untuk minum dan pengaruh beban pekerjaan (stress). Simpati istrinya berkurang disamping ia juga punya masalah tidur tengah malam. Dia pulang untuk menemui Chris Wurm, seorang GP ahli Logotherapi. Wurm mengkombinasikan pendekatan medis sebagai contoh pemberian informasi terhadap bahaya minuman-minuman juga dilakukan dengan logotherapi. Roda kehidupan Harol kembali bergulir, liku-liku sisi alkohol dari kehidupannya dan tak bisa dihindari. Werm berkata “ bahwa memungkin untuk memikirkan apayang dia ketahui dan dapat menentukan pilihan dan menjalani kehidupan dengan berbagai cara (penekanan logotherapi dapat dipertanggung jawabkan). Cerminan dari suatu pilihan yang membawa perubahan baginya (ini adalah orientasi terhadap makna penghayatan dan nilai - nilai terakhir yang bisa ditemuinya, nilai – nilai bersikap), dan terdapat gambaran masa masa mendatang. Perannya sangat menentukan dan menjadi efektif, setiap kali ia memandang betapa akal piciknya menjadi bumerang (api dalam sekam).

2.     Contoh kasus penerapan teknik Intensi Paradoksial
a.    Kasus hidrofobia yang dialami seorang klien selama 4 tahun, dimana ia selalu merasa gemetar dan keluar keringat tiap kali berjabat tangan dengan atasannya. Frankl mengajukan saran kepada kliennya supaya jika ia bertemu kembali dengan atasannya berusaha secara sengaja mengatakan pada dirinya bahwa ia akan mengeluarkan keringat sebanyak-banyaknya jika bersalaman dengan atasannya yang sebelumnya hanya sedikit. Dan hasilnya ternyata klien tidak berkeringat sedikitpun saat bersalaman dengan atasannya.
b.   Kasus bakterofobia dan kompulsi mencuci yang dialami ibu rumah tangga ditangani Frankl dengan mengajak ibu tersebut menirukan apa yang dilakukannya dengan menggosok-gosokkan tangan ke lantai dan kemudian berkata, ‘’Lihat, tangan saya menjadi kotor, tetapi saya tidak bisa menemukan banyak bakteri !’’ dan kemudian ibu tersebut mau menirukannya dan selama 5 hari berikutnya gejala-gejala bakterfobia mulai menyusut dan akhirnya hilang sama sekali.
c.    Kasus alkoholisme neurosis yang dialami D.F yang mana dengan minum secara eksesif untuk mengatasi ketidakbermaknaan hidup sekaligus untuk mengatasi gejala gemetaran tangan jika berada di depan orang lain. Dan tidak bisa mengangkat piring atau gelas tanpa menumpahkan isinya jika makan atau minum di depan umum. Gerz menganjurkan D.F agar secara sengaja berhumor menunjukkan gejala-gejala itu   di hadapan orang lain dengan mengatakan ‘’ Lihat, betapa ajaib getaran tanganku.’’ Dan ternyata dia tidak bisa menggetarkan tangannya ketika berhadapan dengan orang lain.
Dari contoh kasus diatas, dapat disimpulkan bahwa dengan intensi paradoksial individu didorong untuk melakukan sesuatu yang paradoks yakni mendekati sesuatu yang justru ditakutinya dan yang selalu ingin dihindarinya.

3.     Contoh kasus penerapan teknik De- reflection
Contoh kasus berikutnya dikutip dari hasil penelitian oleh Suprapto (2013) yang berjudul “konseling logoterapi untuk meningkatkan kebermaknaan hidup lansia”
          Menjadi tua adalah suatu hal yang tidak dapat dihindari. Saat memasuki periode lansia, menjadi seseorang yang lebih berarti dalam hidup tampaknya sangat penting. Lansia akan menghadapi berbagai persoalan yang terkait dengan beberapa perubahan yang dialami lansia, yaitu perubahan dalam aspek fisik, kognitif, dan psikososial. Hal tersebut akan menimbulkan berbagai dampak bagi lansia, salah satunya ialah perasaan tidak bermakna dalam hidup yang dapat menyebabkan terjadinya gejala fisik. Subjek ialah lansia yang mengalami ketidakbermaknaan hidup dan berdampak pada gejala fisik.
      Berdasarkan hasil analisis dari kasus diatas menunjukkan bahwa konseling logoterapi dapat meningkatkan kebermaknaan hidup pada lansia. Konseling logoterapi diberikan pada subjek karena konseling ini merupakan konseling yang diberikan pada individu yang mengalami ketidakjelasan makna dan tujuan hidup. Hal tersebut menyebabkan subjek mengalami kehampaan dan kehilangan gairah hidup. Konseling logoterapi juga diberikan pada subjek karena konseling ini tidak diterapkan untuk kasus patologis berat yang membutuhkan psikoterapi. Selain itu, konseling logoterapi memiliki karakteristik jangka pendek, berorientasi masa depan dan berorientasi pada makna hidup (Bastaman, 2007).
          Dalam pendekatan humanistik eksistensial, subjek mengalami neurosis noogenik yaitu gangguan yang disebabkan tidak terpenuhinya keinginan subjek untuk hidup bermakna, gangguan tersebut berupa beberapa keluhan fisik yang dialami subjek. Penanganan yang diberikan pada subjek ialah konseling logoterapi dengan menggunakan metode dereflection. Metode ini memanfaatkan kemampuan transendensi diri yang terdapat pada setiap individu dewasa seperti subjek dimana subjek diarahkan untuk tidak memperhatikan kondisi yang menimbulkan ketidaknyamanan (Bastaman, 2007). Melalui metode tersebut subjek lebih memperhatikan hal-hal yang positif dan bermanfaat dan mengalami perubahan sikap, yaitu dari sikap yang terlalu memperhatikan diri menjadi sikap yang memiliki komitmen terhadap suatu yang penting bagi subjek. Dalam kasus ini, hal yang penting bagi subjek ialah menentukan tujuan hidup dan menemukan makna hidupnya kembali. Metode dereflection lebih adaptif untuk dilakukan, dimana subjek lebih mudah menerima kondisi dirinya, karena metode tersebut tidak membutuhkan banyak hal yang berkaitan dengan kontrol terhadap pribadinya sebagai seorang lansia. Melalui metode dereflection, subjek dapat melihat hal yang berarti dalam kehidupan mereka dan dapat mengatasi kehampaan eksistensial yang dialaminya. Konseling logoterapi membantu subjek untuk menemukan sendiri makna hidupnya, menyadari bahwa mereka memiliki kebebasan dalam menentukan pilihan hidup dan bertanggung jawab terhadap pilihan hidup tersebut (Sugioka, 2011).
      Hasil dari konseling logoterapi ini didukung oleh kemauan dan motivasi subjek untuk meningkatkan kebermaknaan hidupnya serta dukungan dari anggota keluarga subjek. Istri subjek menyatakan bahwa terdapat perubahan subjek ke arah yang lebih baik berkaitan dengan sikapnya terhadap istri dan anak-anak subjek. Istri subjek tidak lagi menemui kebiasaan subjek untuk memeriksakan kondisi fisiknya secara berlebihan ke puskesmas. 
        Istri subjek juga menyatakan bahwa subjek kini lebih dapat mengendalikan emosi daripada sebelumnya. Selain dari proses konseling logoterapi, peningkatan kondisi subjek tersebut dipengaruhi oleh pihak lain, yaitu penjelasan dari saudara subjek yang berprofesi dokter yang dapat meyakinkan subjek bahwa gejala fisik yang dikeluhkannya bukan merupakan gejala dari penyakit kronis tertentu. Serta percakapan yang sering dilakukan subjek dengan temannya dimana subjek diajarkan untuk mengubah sikapnya dalam menjalani hidup dan dalam menyikapi orang lain. Subjek menyadari bahwa masukan dari dua pihak tersebut serta proses konseling yang telah dilakukan memiliki manfaat yang besar terhadap dirinya untuk menjadi lebih baik di waktu yang akan datang.
      Selanjutnya berdasarkan Kuesioner Kebermaknaan Hidup yang diisi oleh subjek, terdapat perbedaan yang signifikan pada beberapa poin di awal konseling dengan di akhir konseling. Hal tersebut menunjukkan bahwa subjek belum menemukan tujuan hidupnya sebelum diberikan konseling dan telah mampu menentukan tujuan hidupnya secara jelas setelah diberikan konseling, yaitu dapat membahagiakan keluarga, dapat bermanfaat bagi orang lain, serta lebih dekat dengan Tuhan. Pada poin lain juga terdapat perbedaan yang signifikan, dimana hasil pengisian kuesioner menunjukkan bahwa pada awal konseling subjek belum menemukan makna hidupnya dan pada akhir konseling subjek telah menemukan makna hidupnya. Sedangkan hasil pengisian kuesioner secara keseluruhan, kondisi subjek menunjukkan adanya perubahan pada awal dan akhir konseling. Subjek telah mampu menentukan tujuan hidupnya secara jelas dan telah menemukan makna hidupnya kembali.
         Selama proses konseling logoterapi, peneliti dan subjek memiliki hubungan yang akrab, terbuka, saling menghargai, memahami dan menerima, sehingga proses konseling dapat dilakukan secara fleksibel. Konseling bersifat direktif dimana peneliti memberikan pengarahan pada subjek mengenai hal-hal yang dapat dilakukan subjek sebagai proses untuk menemukan makna hidupnya. Peneliti berperan sebagai participating partneryang menarik keterlibatan dengan subjek sedikit demi sedikit setelah subjek mulai menyadari dan menemukan makna hidupnya (Bastaman, 2007).
         Keterbatasan dalam penelitian ini ialah faktor eksternal yang tidak dapat dikontrol oleh peneliti, yang kemungkinan dapat mempengaruhi hasil konseling. Faktor eksternal tersebut ialah pengaruh dari keluarga, saudara, serta sahabat subjek. Keluarga, terutama istri subjek, memberikan dukungan setiap saat agar subjek dapat menerima kondisi fisiknya dan menjalani hidup dengan lebih tenang. Selama proses konseling, keluarga mendukung subjek untuk melakukan hal-hal yang positif dan bermanfaat sehingga kebermaknaan hidup subjek meningkat. Saudara subjek yang berprofesi dokter juga memberikan pengaruh terhadap hasil konseling. Saudara subjek tersebut melakukan pemeriksaan terhadap kondisi fisik subjek dan tidak menemukan kemungkinan yang mengarah pada penyakit kronis tertentu. Saudara subjek menjelaskan bahwa gejala fisik yang dialami subjek akibat kondisi fisik subjek yang mengalami penurunan karena memasuki masa lansia, dan meyakinkan bahwa subjek tidak perlu mengkhawatirkan gejala-gejala tersebut. Selanjutnya sahabat subjek yang sering melakukan percakapan dengan subjek juga memberikan dukungan pada subjek. Ia meyakinkan bahwa subjek dapat memiliki kehidupan yang lebih tenang dengan menerima kondisi fisiknya yang menurun. Sahabat subjek yang mengalami kelumpuhan tersebut menyampaikan bahwa ia dapat menjalani hidupnya dengan melakukan hal-hal yang bermanfaat, sehingga ia berharap subjek dengan kondisi fisik yang lebih baik juga dapat melakukan hal-hal yang bermanfaat.
      Diharapkan setelah konseling dihentikan, subjek dapat mempertahankan atau meningkatkan kebermaknaan hidupnya sehingga menjadi pribadi yang lebih terbuka dan menyenangkan, bersedia melakukan pengalaman baru (Reker & Woo, 2011), selalu memiliki harapan menjadi lebih baik dan bersedia untuk memperbaiki diri, berguna dan bermanfaat bagi lingkungan sekitar (Bastaman, 2007). Selain itu, sebagai proses meningkatkan kebermaknaan hidupnya, subjek diharapkan dapat mempertahankan ketertarikan, aktivitas, dan interaksi sosial selama periode lansia (Feldman, 2003) serta mampu menemukan makna yang positif dari kehidupan dan kematian, bahkan dalam kondisi fisik yang tidak baik, seperti penurunan fungsi tubuh (Wong, 2007).

Kondisi Subjek Sebelum dan Setelah Konseling
Sebelum konseling
1.      Subjek sering mencari pelayanan medis karena merasakan berbagai keluhan fisik: sakit kepala (pusing), punggung kaku, nyeri di persendian tangan & kaki, dada sesak, perut kembung, lambung perih, lemah pada bagian kaki, suara serak
2.         Subjek tidak dapat menerima kenyataan bahwa keadaan keluarga tidak tercukupi secara finansial karena subjek tidak mampu memberikan nafkah bagi keluarganya
3.      Subjek menjadi mudah marah dan merasa tidak dihormati sebagai kepala keluarga karena istri dan anak-anaknya sering tidak menuruti perkataan subjek
4.         Permasalahan yang dihadapi subjek membuatnya merasa tidak berharga, merasa tujuan hidupnya tidak terpenuhi dan merasa hidupnya tidak bermakna

Pemberian intervensi
Konseling logoterapi diberikan dalam 4 langkah, yaitu:
1.         Mengambil jarak atas gejala (distance from symptoms) dimana konselor membantu menyadarkan subjek bahwa gejala sama sekali tidak identik dan mewakili diri subjek, namun semata-mata merupakan kondisi yang dialami dan dapat dikendalikan
2.     Modifikasi sikap (modification of attitude) dimana konselor membantu subjek untuk mendapatkan pandangan baru atas diri dan kondisinya, selanjutnya subjek menentukan sikap baru untuk menentukan arah dan tujuan hidupnya
3.         Pengurangan gejala (reducing symptoms) dimana konselor menggunakan teknik logoterapi
berupa dereflection untuk menghilangkan atau mengurangi dan mengendalikan gejala pada subjek
4.   Orientasi terhadap makna (orientation toward meaning) dimana konselor bersama subjek membahas bersama nilai-nilai dan makna hidup yang secara potensial ada dalam kehidupan subjek, memperdalam dan menjabarkannya menjadi tujuan- tujuan yang lebih konkrit.

Setelah konseling
1.      Keluhan yang dirasakan subjek telah berkurang dan mampu diabaikan oleh subjek sehingga tidak memenuhi kriteria diagnosa untuk gangguan psikologis
2.  Subjek telah mampu menerima kondisi bahwa ia tidak mampu memberikan nafkah bagi keluarganya dan lebih memperhatikan hal-hal yang dapat dilakukannya untuk membahagiakan keluarganya
3.    Subjek dapat mempertahankan pengendalian emosi yang telah berhasil dilakukannya agar dapat terus dilakukan dalam kehidupan sehari-hari
4.  Pernyataan dari anggota keluarga bahwa terdapat perubahan subjek ke arah yang lebih baik berkaitan dengan sikapnya terhadap anggota keluarga
5.    Subjek telah memiliki tujuan hidup, yaitu membahagiakan dan mensejahterakan keluarga meski tidak berupa materi, dapat bermanfaat bagi orang lain, dan lebih dekat dengan Tuhan 

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Z. (2007).  Analisis eksistensial. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Hasanah, H, U., & Suprapto.(2013). Konseling logo terapi untuk meningkatkan kebermaknaan     hidup lansia. Jurnal Psikologi. 1 (2), 190-198. UMM.
Schultz, D. (1991). Psikologi pertumbuhan: model-model kepribadian sehat. Yogyakarta: Kanisius.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar