Selasa, 05 Januari 2016

Terapi Eksistensial – Humanistik

Terapi eksistensial memusatkan bahwa manusia tidak bisa melarikan diri dari kebebasan, dan bahwa kebebasan dan tanggung jawab itu saling berkaitan. Dalam penerapan-penerapan terapeutiknya, pendekatan eksistensial-humanistik memusatkan perhatian pada asumsi-asumsi filosofis yang melandasi terapi. Pendekatan eksistensial-humanistik menyajikan suatu landasan filosofis bagi orang-orang dalam hubungan dengan sesamanya yang menjadi ciri-khas, kebutuhan yang unik dan menjadi tujuan konselingnya, dan yang melalui implikasi-implikasi bagi usaha membantu individu dalam menghadapi pertanyaan-pertanyaan.

A. Konsep Utama
1. Pandangan tentang sifat manusia
Eksistensial-humanistik berfokus pada kondisi manusia. Pendekatan ini adalah suatu sikap yang menekankan pada pemahaman atas alih-alih suatu sistem teknik-teknik yang digunakan untuk mempengaruhi klien. Pendekatan terapi eksistensial bukan suatu pendekatan terapi tunggal melainkan suatu pendekatan yang mencakup terapi-terapi yang berlainan yang kesemuanya berlandaskan konsep-konsep dan asumsi-asumsi tentag manusia. Berikut konsep-konsep utama dari pendekatan eksistensial yang membentuk landasan bagi praktek terapeutik.

a. Kesadaran diri
Manusia memiliki kesanggupan untuk menyadari dirinya sendiri, suatu kesanggupan yang unik dan nyata yang memungkinkan manusia mampu berpikir dan memutuskan. Semakin kuat kesadaran diri itu pada seseorang maka akan semakin besar pula kebebasan yang ada pada orang itu.

b. Kebebasan, tanggung jawab, dan kecemasan
Kesadaran atas kebebasan dan tanggung jawab bisa menimbulkan kecemasan yang menjadi atribut dasar pada manusia. Kecemasan eksistensial juga bisa diakibatkan oleh kesadaran atas keterbatasannya dan atas kemungkinan yang tak terhindarkan untuk mati (nobeing). Kesadaran atas kematian memiliki arti penting bagi kehidupan individu sekarang, sebab kesadaran tersebut menghadapkan individu pada kenyataan bahwa dia memiliki waktu yang terbatas untuk mengaktualkan potensi-potensinya. Dosa eksistensial, yang juga merupakan bagian dari kondisi manusia, adalah akibat dari kegagalan individu untuk benar-benar menjadi sesuatu sesuai dengan kemampuannya.

c. Penciptaan makna
Manusia memiliki kebutuhan untuk berhubungan dengan sesamanya dalam suatu cara yang bermakna. Kegagalan dalam menciptakan hubungan yang bermakna bisa menimbulkan kondisi-kondisi isolasi, depersonalisasi, alineasi, keterasingan, dan kesepian. Manusia juga berusaha untuk mengaktualkan diri, yakni mengungkapkan potensi-potensi manusiawinya. Sampai taraf tertentu, jika tidak mampu mengaktualkan diri, klien bisa “sakit”. Patologi dipandang sebagai kegagalan menggunakan kebebasan untuk mewujudkan potensi-potensi seseorang.

2. Tujuan Terapi Eksistensial-Humanistik
·         Agar klien mengalami keberadaannya secara otentik dengan menjadi sadar atas keberadaan dan potensi-potensi serta sadar bahwa klien dapat membuka diri dan bertindang berdasarkan kemampuannya.Menurut Bugental (1965) menyebutkan keotentikan sebagai “urusan utama psikoterapi” dan “nilai eksistensial pokok”. Terdapat tiga karakteristik dari keberadaan otentik:
a.          Menyadari sepenuhnya keadaan sekarang
b.         Memilih bagaimana hidup pada saat sekarang
c.          Memikul tanggung jawab untuk memilih
·          Meluaskan diri klien dan meningkatkan kesanggupan pilihannya, yakni bebas dan bertanggung jawab atas arah hidupnya.
·    Membantu klien agar mampu menghadapi kecemasan tentang tindakan memilih diri dan menerima kenyataan.

3. Fungsi dan Peran Terapis
Tugas utama konselor adalah berusaha memahami klien sebagaimana adanya klien. Dengan menekankan pada pengalaman klien sekarang, para konselor eksistensial menunjukan keleluasan dalam menggunakan metode-metode, dan prosedur yang digunakan oleh mereka bisa bervariasi tidak hanya dari klien yang satu kepada klien yang lainnya, tetapi juga dari satu kelain fase terapi yang dijalani oleh klien yang sama.
·      May (1961) memandang tugas konselor di antaranya adalah membantu klien agar menyadari keberadaannya dalam dunia: “ ini adalah saat ketika pasien melihat dirinya sebagai orang yang terancam, yang hadir didunia yang mengancam dan sebagai subjek yang memiliki dunia”.
·    Frankl (1959) menjabarkan peran konselor sebagai “spesialis mata daripada pelukis”, yang bertugas “memperluas dan memperlebar lapangan visual pasien sehingga spektrum keseluruhan dari makna dan nilai-nilai menjadi disadari dan dapat dinikmati oleh pasien”.

4. Teknik – teknik Terapi
        Teori eksistensial humanistik tidak memiliki teknik-teknik yang ditentukan secara ketat. Prosedur-prosedur terapi bisa dipungut dari beberapa teori terapi lainnya separti teori Gestalt dan Analisis Transaksional. Tugas terapis di sini adalah menyadarkan klien bahwa klien masih ada di dunia ini dan hidupnya dapat bermakna apabila klien memaknainya.  Adapun empat teknik dalam terapi ini :
a.    Klien didorong agar bersemangat untuk lebih dalam memberikan klien pemahaman baru dan restrukturisasi nilai dan sikap klien untuk mencapai kehidupan yang lebih baik dan dianggap pantas.
b.      Klien dibantu dalam mengidentifikasi dan mengklarifikasi asumsi mereka  terhadap dunia.
c.       Klien diajak mendefinisikan cara pandang agar eksistensi diri diterima.
d.  Klien diajak untuk berfokus untuk bisa melaksanakan apa yang telah pelajari tentang diri sendiri, kemudian klien    didorong untuk mengaplikasian barunya dengan jalan yang konkrit, klien biasanya akan menemukan kekuatan untuk  menjalani eksistensi kehidupannya yang memiliki tujuan.

5. Kelebihan Terapi Eksistensial-Humanistik
a.     Teknik ini dapat digunakan bagi klien yang mengalami kekurangan dalam perkembangan dan kepercayaan diri.
b.      Adanya kebebasan klien untuk mengambil keputusan sendiri.
c.   Bersifat pembentukan kepribadian, hati nurani, perubahan sikap, analisis terhadap fenomena sosial.
d.     Pendekatan terapi eksistensial lebih cocok digunakan pada perkembangan klien seperti masalah karier, kegagalan  dalam perkawinan, pengucilan dalam pergaulan ataupun masa transisi dalam perkembangan dari remaja menjadi  dewasa.

Daftar Pustaka
Corey, G. (2009). Toeri dan praktik konseling dan psikoterapi. Bandung: Refika Adiatma
Gunarsa, S, D. (2012). Konseling dan psikoterapi. Jakarta: Libri
Khairani, M. (2014). Psikologi konseling. Yogyakarta: Aswaja Pressindo
Riyanti, Dwi & Prabowo, H. (1998). Psikologi Umum 2. Jakarta : Gunadarma

Tidak ada komentar:

Posting Komentar